JAKARTA, INDONESIATODAYS.ID – Cerita tentang sejarah dan sosok pahlawan perlu semakin banyak diangkat kedalam karya film. Upaya itu untuk membuat generasi muda semakin tertarik mengenal sejarah bangsa.
Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, jumlah produksi film yang mengangkat cerita sejarah, kebudayaan atau sosok pahlawan Indonesia masih sedikit. Lewat film seperti ini, nilai-nilai sejarah dan budaya dapat ditampilkan secara jelas melalui penggambaran langsung.
Film layar lebar atau film animasi memudahkan generasi muda dalam mengenali dan memahami sejarah bangsanya.
Sejak 2010, setidaknya ada 11 film Indonesia yang mengangkat narasi kepahlawanan atau sosok pahlawan, diantaranya Kartini, Guru Bangsa: Tjokroaminoto, Jenderal Soedirman, Soekarno, Sang Pencerah yang bercerita tentang KH Ahmad Dahlan dan Wage yang bertutur tentang Wage Rudolf Soepratman.
Faktor penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan film sejarah, kata Anhar, pembuat film perlu melakukan riset terlebih dahulu sehingga cerita sejarah yang ditampilkan sesuai. Berbagai versi cerita sejarah terkadang menimbulkan persepsi yang berbeda, sehingga pembuat film sebaiknya melakukan riset lama dan mendalam terlebih dulu.
“Itu menjadi tantangan dalam pembuatan film bertema sejarah. Jalan cerita yang ditampilkan adalah betul-betul harus menceritakan sejarah itu sendiri,” ucap Anhar.
Arie Sujito, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berpendapat, pada umumnya cerita sejarah disajikan lewat buku. Padahal bagi generasi milenial itu terkesan monoton dan kurang menarik sehingga perlu ada cara baru dengan gaya muda dalam pengenalannya. Misalnya, melalui teater, lagu, animasi dan film.
‘Seperti apa sebenarnya film epik sejarah Indonesia itu?’ Genre historical epic, dalam banyak literatur, mungkin punya banyak detil-detil definisi berbeda. Tapi dalam film Indonesia, genre ini jelas punya ciri khas tersendiri.
Persepsinya bisa jadi akan sangat bias ke tema-tema legenda yang juga menggunakan elemen-elemen sejarah sebagai latar belakangnya. Sebagian lagi mungkin menganggapnya sama dengan film kolosal karena rata-rata bangunan set-nya membutuhkan bujet lebih untuk lokasi hingga kostum yang otentik, belum lagi penggunaan extras yang cukup banyak.
Semuanya tak salah memang, karena kebanyakan genre ini berada dibalik ambisi besar pembuatnya dan dalam pemaparan kisah-kisah kepahlawanan ini, tak semuanya juga harus berupa biopik dengan karakter tokoh-tokoh nyata.
Di dunia sinematography Indonesia, dari sekian banyak sutradara muda, ada sosok Ari Ibnuhajar yang cukup berpengalaman membuat berbagai genre dokumenter.
Pria yang lahir 23 Januari 1972 berpendidikan terakhir di Fakultas Sinematography Jurusan Penyutradaraan Institut Kesenian Jakarta ini, pernah mengikuti lomba festival film dan video tingkat pelajar di Philadelphia Amerika Serikat tahun 1997 dan berhasil memperoleh juara kedua kategori film pendek dokumenter dengan judul Jakarta 468.
Kemudian di tahun 1998 film Jakarta 468 karyanya diikutsertakan pada Festival Sinetron meraih Best Documerntary dan di tahun yang sama film tersebut menjadi Official Selection pada Brno16 short film Festival di Cekoslovakia.
Di tahun 2006 dalam Bandung Film Festival karya Ari berjudul Selendang Hasnah menjadi Best Feature. Film Televesion serta di tahun 2023 Film Pendek Dokumenter berjudul Rumah Ong menjadi Official Selection dalam Festival Film Heritage Kotabaru.
Menurut Ari, film adalah sebuah karya seni yang paling diminati oleh banyak orang. Karena film terkadang merefleksikan kehidupan sehari-hari di masyarakat. Selain itu, film juga digunakan sebagai media pandang dengar menjadi sebuah primadona bagi masyarakat baik sebagai media hiburan atau media pembelajaran.
Dengan kata lain, media film adalah media yang tepat untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.
“Ini bisa kita lihat betapa banyaknya bentuk film yang ada ditengah masyarakat. Seperti film fiksi drama, film dokumenter, film iklan layanan masyarakat, film iklan komersil dan lainnya,” ujar Ari Ibnuhajar.
Hampir semua film yang ada pasti memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya, yang kemudian diharapkan, para penonton dapat mencernanya dan dapat diterapkan dalam kehidupan mereka di dunia nyata.
Kemudian disisi lain, film juga dapat menjadi media pembelajaran bagi masyarakat yang ingin mengetahui dan belajar pada sesuatu yang diminatinya. Karena itulah ada media film dokumenter.
Atas dasar hal tersebut Ari berinisiatif bersama Komunitas Sriwijaya Documentaries, anggota Asosiasi Dokumenteris Nusantara berencana membuat film bergenre dokumenter sejarah tentang upaya pembunuhan presiden Sukarno pada tahun 1962.
“Semoga film dokumenter tentang kehidupan presiden pertama Indonesia ini dapat menjadi film yang menggugah sebagai literasi informatif bagi penontonnya,” kata Ari.
Dalam proses ide dasar, Ari membagi beberapa konsep dasar penceritaannya. Beberapa bagian menceritakan tentang latar belakang kondisi sosial politik Indonesia saat itu, kemudian menceritakan bagaimana persiapan para pengawal presiden dalam rangka mengamankan presiden Sukarno serta menceritakan bagaimana persiapan para pelaku pembunuhan presiden Sukarno serta detik-detik pembunuhan presiden Sukarno akan dilakukan yang diakhiri dengan cerita tentang gagalnya pembunuhan presiden Sukarno dan penangkapan para pelakunya.
Film akan bertutur ringan sehingga mudah dipahami penontonnya. Dengan pesan utamanya adalah mengajak penonton untuk berhati-hati dan waspada pada kaum radikal yang berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah.
Adanya wacana dan rencana pembuatan film dokumenter sejarah tentang Sukarno ini mendapat dukungaan dari Mayjen TNI (Purn) Prantara Santosa, S.Sos., M.Si., M.Tr.(Han), mantan Kapusjarah (2019-2021) dan mantan Kapuspen TNI (2021-2022) yang pernah menginisiasi gerakan cinta bangsa lewat pesan sejarah bagi generasi bangsa.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan pahlawannya”, ujar Mayjen TNI (Purn) Prantara Santosa.